Thursday 28 February 2013

si Fotografer Satu Tangan



                Kala itu aku sedang bekerja disuatu perusahaan tepatnya dibagian even olahraga yang cukup bergengsi di kota Manado, dan atasanku memberiku tanggung jawab dibidang dokumentasi, serta menyediakan kamera digital Canon 50D dengan lensa yang cukup bergengsi pula yaitu Canon Lens EF 24-70mm f2.8L. Atasanku mempercayai sepenuhnya kamera tersebut untuk aku gunakan diluar keperluan perusahaan.
                Siang itu aku datang dengan motor untuk menghadiri upacara keagamaan yaitu penerimaan sakramen komuni pertama keponakanku di Langowan (Minahasa Sulawesi Utara). Pamanku yang tahu aku memiliki kamera dan pandai dalam memotret, mengajaku untuk berbisnis kecil dadakan. Aku menyumbang jasa memotret dan ia menyediakan kertas foto serta tinta printer untuk dicetak. Untuk satu foto kami menarifkan harga sebesar 10ribu rupiah yang nantinya dibagi dua. Dan dalam acara tersebut diikuti kurang lebih 500 peserta komuni pertama, yang masing-masing di jerat sebanyak 2 kali yang kemudianya tidak langsung dicetak. Kami akan menanyakan kepada pihak yang bersangkutan untuk memilih foto yang ingin dicetak. Rata-rata dari mereka hampir sebagian besar ingin mencetak kedua-duanya.
                Sesaat sebelum upacara dimulai rombongan peserta, Pastor (pemuka agama), serta pelayan-pelayanya berbaris dimuka gereja. Aku sudah mulai sibuk melepas shutter-shutter. Namun aku sempat terdiam saat aku menjerat ke seberang barisan tersebut. Seorang bapak yang mungkin umurnya setengah abad lebih, sibuk mengutak-atik kamera. Kameranya terlihat cukup berumur, aku sempat berpikir cukup lama, heran dan termenung mengamati beliau. Ia menggunakan kamera analog merek Pentax. aku sempat melihat ia beberapa kali mengambil gambar di dalam gereja, cahaya dari lampu blitz miliknya menyadarkan aku dia juga sedang berusaha mengabadikan upacara tersebut lewat jeratan kameranya.
                Di dalam gereja kami saling terpisah bersebrangan dan saling pengertian saat mengambil gambar ia menoleh kearahku sesaat sebelum ia menjerat begitu juga aku yang tidak mau kami saling tabrakan saat mengambil gambar. Ada satu ketika kami saling bersebelahan dan ia mencoba membuka percakapan kecil. “kamera digital yah? Merek apa?” ia bertanya, aku pun menjawab dan berbalik Tanya “iya om, om pakai film yah? Keren om” kataku. Ia pun tersenyum dan kami kembali menyibukan diri masing-masing untuk memotret. Aku belum sadar kalau dia seorang fotografer keliling saat itu yang ku tau ia hanya seorang bapak yang mungkin relasi dari salah satu peserta dalam upacara tersebut, datang memotret saudaranya. Diselang aku memotret, aku sempat tercengang heran ketika melihat si bapak hanya menggunakan satu tangan untuk memotret. Ia mengatur fokus, ketebalan cahaya blitz, serta melepas shutter hanya dengan tangan kanannya saja. Aku mencoba memperhatikan tangan kirinya yang tergantung kaku, hingga aku sdar tangan kiri itu ternyata tangan palsu. Aku sangat kagum terhadapnya. Niatku untuk berdiskusi dengannya setelah upacara selesai nanti.
                Ketika upacara keagamaan itu usai, dan sebelum aku masuk ke ruangan yang telah disediakan pamanku untuk mencetak foto, aku mencari si bapak itu. Ia menghilang entah kemana. Dengan perasaan sedikit kecewa aku pergi ke ruangan belakang untuk mencetak foto. Lumayan lelah juga aku harus mencetak dan dikerumuni peserta dan orang tua mereka untuk memilih foto. Aku menoleh keluar jendela. Dari jendela itu aku melihat si bapak tadi kembali dengan sebuah papan yang telah bergantung foto-foto hasil jeratannya saat upacara. Disaat itulah aku sadar beliau berprofesi sebagai fotografer keliling yang memiliki satu tangan saja. Dan disaat itu pula aku sadar aku telah membunuh karirnya hari ini. Aku akhirnya menolak untuk melanjutkan untuk mencetak foto dan menyuruh salah seorang petugas gereja untuk menerusknya menggantikan posisiku. Aku sangat malu. Bukan hanya karena kejamnya diriku yang telah merebut jatah si bapak, namun melihatnya berusaha untuk tetap bertahan dengan keahliannya sebagai fotografer walau ia hanya memiliki satu tangan untuk mengoperasikan kameranya. Salut seribu salut buat si bapak yang juga masih bertahan menggunakan kamera analog dan mencetaknya dengan cara lama. Pertama kali aku mendalami fotografi aku menggunakan kamera analog Nikon FM10 aku paham betul sulitnya menggunakan kamera manual yang hasilnya kita belum tau pasti bagus atau tidak. Aku sangat malu kepada diriku sendiri.
                Foto si bapak ini pernah ku upload/unduh dalam situs jejaring sosial Facebook dan aku menandai/tag sahabatku beberapa bulan setelah upacara itu, dan ia turut mengomentari foto si bapak tersebut; ia mendengar kabar kalau si bapak itu belum lama meninggal dunia. Entah kabar itu benar atau tidak, yang jelas si bapak telah merubah pandanganku terhadap dunia fotografi sejak itu.
                Banyak orang dewasa ini telah salah menganggap hobinya untuk memotret telah menjadikanya sebagai fotografer. Dengan teknologi canggih serta perlengkapan yang sudah sangat maju, hasil bayangan cahaya yang dijerat menjadi terlihat sangat hebat dan berkualitas ditakar dari megapixel yang dihasilkan serta kreativitas olah digital. Itu pun semua tergantung dari budget yang kita miliki untuk membeli kamera dengan berkualitas. Namun, si bapak inilah yang sebenarnya seorang Fotografer Keliling Profesional. Aku tak akan mengelak kalau sampai saat ini aku masih menggunakan kamera digital, dan sering mengolah foto digital, memanipulasinya hingga tampak lebih baik dan berkualitas. Setelah itu aku mengunduhnya di situs-situs yang siap menampung foto untuk di perlihatkan oleh banyak orang. Tidak lain tujuanku murni untuk membanggakan hasil karyaku tersebut. Namun setiap kali aku mencoba menciptakan gambar lewat jeratan digital aku selalu terbayang oleh bapak itu. Aku dan si bapak memiliki tujuan dan kecintaan akan fotografi yang berbeda.