Kala itu aku
sedang bekerja disuatu perusahaan tepatnya dibagian even olahraga yang cukup
bergengsi di kota Manado, dan atasanku memberiku tanggung jawab dibidang
dokumentasi, serta menyediakan kamera digital Canon 50D dengan lensa yang cukup
bergengsi pula yaitu Canon Lens EF 24-70mm f2.8L. Atasanku mempercayai
sepenuhnya kamera tersebut untuk aku gunakan diluar keperluan perusahaan.
Siang itu aku
datang dengan motor untuk menghadiri upacara keagamaan yaitu penerimaan sakramen
komuni pertama keponakanku di Langowan (Minahasa Sulawesi Utara). Pamanku yang
tahu aku memiliki kamera dan pandai dalam memotret, mengajaku untuk berbisnis
kecil dadakan. Aku menyumbang jasa memotret dan ia menyediakan kertas foto
serta tinta printer untuk dicetak. Untuk satu foto kami menarifkan harga
sebesar 10ribu rupiah yang nantinya dibagi dua. Dan dalam acara tersebut
diikuti kurang lebih 500 peserta komuni pertama, yang masing-masing di jerat
sebanyak 2 kali yang kemudianya tidak langsung dicetak. Kami akan menanyakan
kepada pihak yang bersangkutan untuk memilih foto yang ingin dicetak. Rata-rata
dari mereka hampir sebagian besar ingin mencetak kedua-duanya.
Sesaat sebelum
upacara dimulai rombongan peserta, Pastor (pemuka agama), serta
pelayan-pelayanya berbaris dimuka gereja. Aku sudah mulai sibuk melepas
shutter-shutter. Namun aku sempat terdiam saat aku menjerat ke seberang barisan
tersebut. Seorang bapak yang mungkin umurnya setengah abad lebih, sibuk
mengutak-atik kamera. Kameranya terlihat cukup berumur, aku sempat berpikir
cukup lama, heran dan termenung mengamati beliau. Ia menggunakan kamera analog
merek Pentax. aku sempat melihat ia beberapa kali mengambil gambar di dalam
gereja, cahaya dari lampu blitz miliknya menyadarkan aku dia juga sedang
berusaha mengabadikan upacara tersebut lewat jeratan kameranya.
Di dalam gereja
kami saling terpisah bersebrangan dan saling pengertian saat mengambil gambar
ia menoleh kearahku sesaat sebelum ia menjerat begitu juga aku yang tidak mau
kami saling tabrakan saat mengambil gambar. Ada satu ketika kami saling bersebelahan
dan ia mencoba membuka percakapan kecil. “kamera digital yah? Merek apa?” ia
bertanya, aku pun menjawab dan berbalik Tanya “iya om, om pakai film yah? Keren
om” kataku. Ia pun tersenyum dan kami kembali menyibukan diri masing-masing
untuk memotret. Aku belum sadar kalau dia seorang fotografer keliling saat itu
yang ku tau ia hanya seorang bapak yang mungkin relasi dari salah satu peserta
dalam upacara tersebut, datang memotret saudaranya. Diselang aku memotret, aku
sempat tercengang heran ketika melihat si bapak hanya menggunakan satu tangan
untuk memotret. Ia mengatur fokus, ketebalan cahaya blitz, serta melepas
shutter hanya dengan tangan kanannya saja. Aku mencoba memperhatikan tangan
kirinya yang tergantung kaku, hingga aku sdar tangan kiri itu ternyata tangan
palsu. Aku sangat kagum terhadapnya. Niatku untuk berdiskusi dengannya setelah upacara
selesai nanti.
Ketika upacara keagamaan
itu usai, dan sebelum aku masuk ke ruangan yang telah disediakan pamanku untuk
mencetak foto, aku mencari si bapak itu. Ia menghilang entah kemana. Dengan perasaan
sedikit kecewa aku pergi ke ruangan belakang untuk mencetak foto. Lumayan lelah
juga aku harus mencetak dan dikerumuni peserta dan orang tua mereka untuk
memilih foto. Aku menoleh keluar jendela. Dari jendela itu aku melihat si bapak
tadi kembali dengan sebuah papan yang telah bergantung foto-foto hasil jeratannya
saat upacara. Disaat itulah aku sadar beliau berprofesi sebagai fotografer
keliling yang memiliki satu tangan saja. Dan disaat itu pula aku sadar aku
telah membunuh karirnya hari ini. Aku akhirnya menolak untuk melanjutkan untuk
mencetak foto dan menyuruh salah seorang petugas gereja untuk menerusknya
menggantikan posisiku. Aku sangat malu. Bukan hanya karena kejamnya diriku yang
telah merebut jatah si bapak, namun melihatnya berusaha untuk tetap bertahan
dengan keahliannya sebagai fotografer walau ia hanya memiliki satu tangan untuk
mengoperasikan kameranya. Salut seribu salut buat si bapak yang juga masih
bertahan menggunakan kamera analog dan mencetaknya dengan cara lama. Pertama kali
aku mendalami fotografi aku menggunakan kamera analog Nikon FM10 aku paham
betul sulitnya menggunakan kamera manual yang hasilnya kita belum tau pasti
bagus atau tidak. Aku sangat malu kepada diriku sendiri.
Foto si bapak ini
pernah ku upload/unduh dalam situs jejaring sosial Facebook dan aku menandai/tag
sahabatku beberapa bulan setelah upacara itu, dan ia turut mengomentari foto si
bapak tersebut; ia mendengar kabar kalau si bapak itu belum lama meninggal
dunia. Entah kabar itu benar atau tidak, yang jelas si bapak telah merubah pandanganku
terhadap dunia fotografi sejak itu.
Banyak orang
dewasa ini telah salah menganggap hobinya untuk memotret telah menjadikanya
sebagai fotografer. Dengan teknologi canggih serta perlengkapan yang sudah
sangat maju, hasil bayangan cahaya yang dijerat menjadi terlihat sangat hebat
dan berkualitas ditakar dari megapixel yang dihasilkan serta kreativitas olah
digital. Itu pun semua tergantung dari budget yang kita miliki untuk membeli
kamera dengan berkualitas. Namun, si bapak inilah yang sebenarnya seorang Fotografer Keliling Profesional. Aku tak
akan mengelak kalau sampai saat ini aku masih menggunakan kamera digital, dan
sering mengolah foto digital, memanipulasinya hingga tampak lebih baik dan
berkualitas. Setelah itu aku mengunduhnya di situs-situs yang siap menampung foto
untuk di perlihatkan oleh banyak orang. Tidak lain tujuanku murni untuk
membanggakan hasil karyaku tersebut. Namun setiap kali aku mencoba menciptakan
gambar lewat jeratan digital aku selalu terbayang oleh bapak itu. Aku dan si
bapak memiliki tujuan dan kecintaan akan fotografi yang berbeda.